Kejagung Periksa 2 Perusahaan, CIC Desak Segera Ungkap Pelaku Pemain Atas Kelangkaan Migor

Ketua Umum Corruption Investigation Committee (CIC) Raden Bambang SS. (Net)

MIMBARPUBLIK.COM, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengarap kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak goreng atau migor. Menyusul dua perusahaan yang disinyalir tersandung dalam perkara tersebut tengah diperiksa jaksa penyidik gedung bundar. Ini berkaitan pula atas kelangkaan dan melonjaknya harga migor.

Corruption Investigation Committee (CIC) mendesak Kejagung untuk segera menetapkan pelaku, karena sepanjang bulan lalu sejak 2021, publik telah merasa resah atas kelangkaan migor dan melambungnya harga migor, meski akhirnya pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).

“Sudah saatnya Kejagung menentukan sikap siapa pelaku pemain migor ini, karena data dari informasi saya dapat dua perusahaan telah di diperiksa, kemudian 14 saksi pun telah di garap jaksa penyidik. Setelah status perkara dinaikan dari penyelidikan ke penyidikan, jadi tunggu apa lagi Pak Jampidsus dan Pak Dirdik,” ujar Ketua Umum CIC Raden Bambang SS kepada wartawan, Jakarta, Minggu 10 April 2022.

Dirinya menduga kelangkaan minyak goreng ketika itu disebabkan adanya penimbunan oleh pelaku usaha ritel yang ditunjuk sebagai penyalur migor murah dan pelaku usaha migor lainnya. Apalagi, ditemukannya pengiriman migor satu kontainer oleh tim Kejati DKI ditengah kelangkaan minyak goreng.

“Kasus ini telah menjadi perhatian publik, karennya jangan sampai masuk peti es, harus diungkap termasuk dua perusahaan yang telah diperiksa tim jaksa penyidik gedung bundar,” tuturnya.

Raden Bambang SS menyarankan agar jaksa penyidik memasukan beberapa Pasal pada UU No 8 Tahun 1999 diantaranya Pasal 12 tentang perlindungan konsumen, dan terkait dengan permainan harga migor di pasaran.

“Selain Pasal UU Tipikor, aturan perdagangan, juga perlu ditelisik dari UU perlindungan konsumen terkait adanya permainan harga oleh mafia migor terutama perusahaan yang kerap memonopoli minyak goreng dan kelapa sawit,” ujarnya.

Dia menambahkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) CPO menjadi perhatian jaksa penyidik, lantaran pihak gedung bundar saat penyelidikan ditemukan adanya perbuatan melawan hukum.

“Makanya status dinaikan menjadi penyidikan. Dan, saya mendengar ada dua perusahaan eksportir yang dianggap mendapat persetujuan ekspor yang seharusnya ditolak izinnya, karena tidak memenuhi syarat DMO dan DPO itu,” tuturnya.

Selain itu Raden Bambang SS menghimbau Kejagung juga memeriksa para pemain kartel minyak goreng dari sawit, karena memiliki kekuatan monopoli, yang bisa memainkan harga, apalagi mereka melihat ada peluang bermain pada tata niaga dan distribusi migor.

“Ini kekuatan kartel, luar biasa hebatnya kartel itu, mereka pemain lama, karena sudah menguasai di sektor minyak goreng dari sawit, mereka bisa atur harga migor kemasan. Termasuk bahan baku migor dari sawit, dalam produk CPO. Saya tak perlu sebutkan, penyidik sudah tau itu, saya sudah menduga ada perusahaan produsen besar terlibat ikut dalan permainan harga termasuk saat kelangkaan minyak goreng terjadi ketika itu,” tutur dia.

Karennya CIC mendukung langkah Kejaksaan dalam menelisik kasus yang sempat menghebohkan negeri ini, ditengah begitu luasnya perkebunan sawit di bumi nusantara ini, namun disayangkan minyak goreng bisa langka, dan malah di eksport ke luar negeri.

Sebelumnya, Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana, dalam keterangannya, Jakarta, Selasa 5 Maret 2022, mengatakan dari hasil kegiatan penyelidikan, ditemukan perbuatan melawan hukum. Ada dua perusahaan eksportir yang dianggap mendapat persetujuan ekspor yang seharusnya ditolak izinnya, karena tidak memenuhi syarat DMO-DPO.

“Dua perusahaan itu, PT Mikie Oleo Nabati Industri (OI), dan PT Karya Indah Alam Sejahtera (IS) memang tetap mendapatkan persetujuan ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan RI. Namun, kesalahannya adalah tidak mempedomani pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) sehingga dan harga penjualan didalam negeri (DPO) melanggar batas harga yang ditetapkan pemerintah dengan menjual minyak goreng di atas DPO yang seharusnya di atas Rp 10.300,” tegas Ketut.

Ketut mensinyalir adanya gratifikasi dalam pemberian izin penerbitan PE yang akibatnya bertentangan dengan hukum dalam kurun waktu 1 Februari sampai 20 Maret 2022. Mengakibatkan kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng.

Redaksi